Ilustrasi |
OBSESI Gubernur Ganjar Pranowo membangun
kemandirian desa, sebagai salah satu pengejawantahan visi membangun provinsi
ini supaya berdikari, tepat. Pasalnya, sebagian besar wilayah Jateng terdiri
atas desa (lebih dari 7.800 desa), dan mayoritas (sekitar 65% dari 32,7 juta
penduduk) warga tinggal di desa.
Ditambah lagi, kebanyakan kaum marginal dan
tertinggal (miskin) di provinsi ini berstatus sebagai masyarakat desa. Data BPS
memperlihatkan, jumlah penduduk miskin di Jateng 4,7 juta orang, 2,8 juta
diantaranya penduduk desa sehingga sudah semestinya fokus pembangunan diarahkan
ke desa.
Pada era Gubernur Bibit Waluyo, perhatian
terhadap desa diwujudkan melalui slogan Bali Ndesa Mbangun Desa, meski tingkat
keberhasilannya masih diperdebatkan. Penjelasan visi Ganjar, hakikat membangun
Jateng berdikari adalah mewujudkan daerah yang berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.
Bila konsep tersebut dibawa ke konteks desa maka
konsep pembangunan desa hendaknya tak sekadar dimaknai dari aspek kemampuan
materi/ekonomi tapi lebih luas, yaitu perimbangan kekuatan antara masyarakat
dan pemerintah desa dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial serta
pembangunan jati diri masyarakat desa.
Dengan kata lain, keberdikarian desa jangan
dilihat hanya dari sejauh mana desa menanggung biaya pembangunan, namun juga
keterjaminan demokrasi masyarakat (kebebasan bersuara, berpendapat, terlibat
perumusan kebijakan, dan keleluasaan melaksanakan hak asal usul desa).
Realitasnya, dari sudut ekonomi, sebagian besar desa belum mandiri.
Salah satu yang bisa diamati adalah kontribusi
pendapatan asli desa (PADesa) terhadap seluruh pendapatan desa, tampak sangat
minim dan terbatas. Mayoritas pendapatan desa berasal dari bantuan atau subsidi
pemerintah tingkat atas.
Bagaimana dengan kedaulatan politik? Apabila
kedaulatan politik masyarakat desa diukur dari kebebasan berdemokrasi maka
sebenarnya saluran-saluran yang ada sudah cukup tersedia.
Namun acap saluran itu tidak optimal
dimanfaatkan. Kondisi lebih memprihatinkan, terkait dengan pembangunan jati
diri dan kebudayaan masyarakat desa. Arus globalisasi yang demikian cepat
dengan dorongan gelombang kapitalisasi hingga pelosok desa makin menggerus
kepribadian, karakter, dan budaya luhur masyarakat desa.
Peta Penyebab
Merunut lebih jauh, kita bisa menemukan sejumlah
penyebab, dan ini tantangan bagi Ganjar untuk mewujudkan kemandirian atau
keberdikarian desa. Pertama; faktor desain regulasi. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
yang jadi payung hukum pengaturan desa potensial memengaruhi kemandirian
(masyarakat) desa.
Terutama menyangkut posisi/kedudukan desa dan
iklim demokratisasi pemerintahan desa. Kedua; kapasitas lembaga-lembaga desa,
terutama pemerintah desa dan BPD. Problem mendasar dari kapasitas kelembagaan
desa antara lain berkait kuantitas dan kualitas SDM aparatur, sumber keuangan,
dan keterbatasan sarana/prasarana. Ketiga; karakteristik desa dan masyarakat
desa. Secara fisik, banyak desa memiliki infrastruktur kurang memadai.
Di sisi lain, kapasitas sosial/ekonomi masyarakat
masih di bawah standar. Mencermati beberapa hambatan utama itu, tak mudah bagi
Ganjar membangun kemandirian desa. Untuk masalah desain regulasi misalnya,
Gubernur tak bisa berbuat banyak. Payung hukum terkait desa disusun oleh pusat,
sedangkan implementasinya banyak didasarkan pada perda (kabupaten/kota).
Artinya, kewenangan pemrov sangat minimal, termasuk jika ingin ìmengintervensiî
pembangunan kemandirian desa.
Selain desa bukan menjadi bagian struktural
pemprov, kemampuan anggaran pemprov untuk menstimulasi pembangunan desa pun
terbatas. APBD Jateng yang ”hanya” Rp 12 triliun, tidak terlalu besar untuk
meng-coverwilayah seluas 3,25 juta ha dengan lebih dari 32 juta penduduk.
Terlebih, sekitar 73% anggaran tersedot untuk belanja tidak langsung. Langkah
Gubernur ìmemengaruhiî pemerintahan di tingkat bawahnya agar memiliki visi sama
juga belum tentu efektif.
Apalagi era otda telah menempatkan bupati/wali
kota sebagai penguasa di daerah. Meski 17 bupati/ wali kota memiliki afiliasi
politik sama dengan Ganjar bukan berarti komitmen mereka (juga aparatur
birokrasi di bawahnya) untuk membangun kemandirian desa, sama. Bagaimanapun
harus disadari, ketika bagian- bagian (sumber daya) yang diperoleh desa
ditambah, pada saat sama ada bagian dari pemerintah tingkat di atasnya yang
harus dikurangi.
Selama ini, pemerintah supradesa lebih cenderung
menjadikan desa sebagai ìbawahanî yang tidak memiliki ”hak” mengatur rumah
tangga sendiri (mandiri). Sepanjang pemerintahan supradesa belum rela berbagi
sumber daya (keuangan, peralatan, dan personel) dengan pemerintah desa maka
harapan kemandirian desa masih sekadar impian.
Harapan itu makin jauh tatkala kapasitas
masyarakat desa belum beranjak membaik. Adanya UU tentang Desa (hingga saat ini
belum jelas kapan disahkan) bisa jadi ikut mengakselerasi pembangunan desa.
Namun bukan berarti itu akan menjadi solusi tunggal membangun kemandirian desa
karena harus ada pejabat- pejabat politik (antara lain gubernur) untuk
terus-menerus berkomitmen. (10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran anda adalah cambuk motifasi penulis