Penerimaan rutin daerah mengandalkan pendapatan
asli daerah, subsidi pemerintah pusat, dan pendapatan lain. Beberapa sumber
pendapatan itu dapat mengindikasikan kemampuan keuangan dari suatu daerah
otonomi. Salah satu pendapatan daerah yang bisa meningkatkan secara signifikan
PAD adalah retribusi parkir.
Mobilitas tinggi kota Semarang sebagai ibu kota
Provinsi Jawa Tengah ber-dampak pada tingginya kebutuhan akan transportasi,
termasuk kebutuhan lahan parkir. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh
oknum tertentu untuk meraup rupiah dari lahan publik (res communis) tanpa
memedulikan dengan dampak sosial yang timbul.
Pemberian fasilitas lahan parkir dengan dalih
memberikan pelayanan kepada masyarakat pada kenyataannya jadi peluang bisnis
oknum tertentu yang memiliki kekuasaan dan berpengaruh dalam lingkungan
perkotaan. Akibatnya, tujuan me-ningkatkan PAD dari penerimaan retribusi parkir
tak pernah tercapai.
Ada makna mendasar dalam tata kota di Semarang
mengenai sistem perparkiran, hal ini berkait cara pandang Pemkot dan masyarakat
tentang ketersediaan lahan parkir, baik on street parking (parkir di
badan jalan) maupun off street parking (di dalam gedung). Kemunculan lahan
parkir ilegal adalah wujud perampasan res communis kendati cara pemanfaatan ruangnya
berbeda. Faktanya, sebagian masyarakat tidak begitu peduli atas ’’penguasaan’’
lahan oleh pihak tertentu. Masyarakat menganggap lahan atau ruang yang tidak
digunakan secara maksimal merupakan res nullius (lahan tidak berpenghuni).